TEMPO Interaktif, Jakarta:Masyarakat Profesional Madani (MPM) menilai perusahaan pemenang tender dua tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) Pertamina, Frontline, telah melanggar etika bisnis karena perusahaan asal AS itu akan menjual kembali kapal itu kepada Shipping Finance International Limited. Selanjutnya, Shipping Finance akan menyewakan tanker tersebut kepada pihak ketiga.
"Itu artinya Frontline tidak lebih hanya sebagai broker. Karena ternyata mereka bukan pembeli akhir, melainkan sebagai makelar saja," kata Ketua MPM, Ismed Hasan Putro, di Jakarta, Kamis (1/7). Menurutnya, rencana penjualan tanker kepada Shipping Finance itu dimuat dalam siaran pers Frontline tertanggal 14 Juni 2004.
Namun hingga kini belum diketahui siapa pihak ketiga yang akan menyewa VLCC yang hampir selesai pembangunannya di galangan Hyundai Heavy Indistries Co Ltd, Korea. "Itu yang menjadi pernyataan kami, siapa dia," ujarnya.
Ismed menambahkan, rencananya dana dari pihak ketiga itu yang akan digunakan Frontline untuk melunasi pembelian dua buah VLCC senilai US$ 184 juta kepada Pertamina. Itu berarti, penyelesaian transaksi atau pembayaran tanker akan sangat tergantung dari pihak ketiga.
Informasi mengenai rencana Frontline itu disampaikan Ismed kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah data dan dokumen yang ditemukan MPM diterima langsung oleh Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas.
Ismed menegaskan, bukti baru itu menunjukkan bahwa direksi Pertamina telah dipermainkan oleh konsultan tender Goldman Sachs dan Frontline. Karena itu, Masyarakat Madani meminta KPK untuk menindaklanjuti temuan tersebut. Kepolisian dan kejaksaan juga diminta melakukan investigasi mengenai hal ini.
Ismed juga curiga bahwa kesanggupan Frontline membayar uang muka sebesar 20 persen kepada Pertamina karena ia memperoleh keuntungan dari selisih harga tender dengan harga pasar internasional.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Masyarakat Madani, harga dua VLCC di Singapura saat ini mencapai US$ 210-220 juta. Sementara dalam tender itu Pertamina hanya memperoleh US$ 184 juta. Itu berarti, lanjutnya, Frontline tidak mengeluarkan uang sama sekali atau bersih dari pembayaran VLCC.
Menurut Ismed, masalah pelanggaran etika bisnis itu sebenarnya bisa diajukan ke pengadilan Amerika. Berkaitan dengan itu, rencananya MPM akan menyampaikan hal itu ke kedutaan AS di Jakarta, besok.
Bagi MPM, target utama yang ingin dicapai agar pasar Amerika mengetahui bahwa telah terjadi penyelewengan etika oleh perusahaan Amerika dalam berbisnis di Indonesia. "Opini publik terhadap Goldman Sachs dan Frontline, itu poin yang terpenting. Soal sikap mereka (kedutaan AS) terhadap kami itu bukan target utama," ujarnya.
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/07/01/brk,20040701-44,id.html
Kamis, 17 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar